Sabtu, 02 April 2011

Backpackers

  

Mengapa disebutbackpackers? Karena paratraveler membawa ransel (backpack), bukannya koper (suitcase). Intinya, mereka menjelajah dunia dengan biaya yang terbatas. Bagi saya, ransel itu paling praktis untuk dibawa ke mana-mana. Karena digendong di punggung, tangan saya bebas memijit tombol, membayar sesuatu, menelepon sambil megang hp, atau berkacak pinggang sambil mengupil (uh, nikmat). Kalau berdesak-desakan di dalam bis, saya bisa menyusup sambil ‘mengibaskan’ ransel saya supaya orang minggir. Kalau mau kejar-kejaran juga tidak masalah meskipun jalannya turun naik atau bergelombang. Ransel saya juga berfungsi sebagai alas duduk kalau capek, atau sebagai alas kepala kalau menginap di  stasion kereta. 
Ransel yang masih saya pakai sampai sekarang dibeli tahun 2005 dengan merk Eiger seharga sekian - sekian. Bentuknya ransel besar, terbagi dua kompartemen atas dan bawah, dan ada 2 kantong besar dan 2 kantong kecil di sisi kiri dan kanannya. Uniknya ransel saya itu ‘beranak-pinak’ – di bagian depannya ada ransel day-pack kecil dan di bagian atasnya tas pinggang kecil, keduanya bisa disambung dengan retsleting. Jadi saya tetap gaya traveling dengan tas-tas yang matching. Ransel warna hitam ini sudah menjelajah belahan Indonesia bersama saya, mulai dari kemping, naik gunung, sampai backpacking ke tempat antah berantah – tambah lagi ransel ini juga sering dipinjam teman-teman ke mana-mana. Jangan sirik dengan ransel saya ya?
Yang paling suka dari ransel ini karena ada retsletingnya. Saya tidak perlu repot mengubek-ngubek kalau ingin mengambil sesuatu di dalamnya, isinya tetap rapih. Bayangkan ransel yang biasa, bolongannya hanya satu di atas dengan tali serut. Begitu mau ambil sesuatu, kita harus mengeluarkan satu persatu isinya, apalagi kalau barang tersebut ada di bagian paling bawah. Belum lagi kalau ada pemeriksaan tas dimana harus dibuka dan dikeluarkan isinya satu per satu. Dari segi keamanan, ransel beretsleting juga lebih terjamin karena bisa digembok. 
          Dengan membawa ransel, kita harus sudah siap travel light – membawa hanya secukupnya. ’Bahan dasar’ saya untuk 1 minggu bepergian adalah 3 kaos, 2 celana panjang, dan 1 celana pendek. Biasanya di hostel tersedia mesin cuci yang bisa dioperasikan dengan bayar tukang hha, atau kalau di daerah dekat kosan kita bisa ke laundry yang dihitung per kiloan. Saya juga selalu membawa sabun cuci sachet untuk mencuci baju dalam. Tidak lupa bawa beberapa kantong plastik untuk memisahkan baju kotor, baju bersih, dan alas kaki. Kalau ditimbang, ransel saya dan seluruh isinya beratnya tidak lebih dari 10 kilogram kok, berat yang masih bisa ditolerir untuk dibawa di punggung sambil berlari-lari.
        Kalau ada teman yang ingin ikut traveling dengan saya, selalu saya sarankan (lebih tepatnya, saya paksakan) untuk membawa ransel juga. Ketika saya mengatakan ‘ransel’ artinya membawa 1 (baca: satu) buah ransel biasa dan bukan merk terkenal.   Pokoknya pembawa ransel diasosiasikan sebagai orang yang ‘miskin, muda, dan kuat’. Namun dengan asosiasi seperti itu, parahnya kita bisa dilecehkan saat masuk ke hotel bagus atau restoran mahal. Kelihatan sekali wajah petugas concierge yang menyeringai dan mengangkatnya dengan jijik. Atau wajah para waiters yang seakan-akan berkata ‘kuat ngga lu bayar makanan kita?’. Huh, sini ane bayar!